INILAH.COM, Jakarta - Sejak masa Orde Lama hingga Era Reformasi saat ini, hubungan politik Indonesia dan Australia dipenuhi berbagai onak dan duri.
Di masa Orde Lama, Australia turut andil dalam menggagalkan upaya Indonesia melakukan konfrontasi terhadap Malaysia di Kalimantan Utara meliputi Brunei, Sabah, Sarawak pada 1961-1965.
Pengepungan besar-besaran pasukan militer TNI selama 68 hari pangkalan Angkatan Laut Malaysia di kawasan Semporna pada 1 Juli 1965 digagalkan oleh pasukan militer Australia yang bahu-membahu dengan pasukan Inggris, India dan Malaysia.
Tak kurang sekitar 2.000 tentara dan milisi Indonesia tewas dalam pertempuran di Kalimantan Utara. Tercatat juga 200 serdadu Inggris dan Australia tewas selama pertempuran.
Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto mencoba membangun hubungan yang lebih harmonis dengan Australia. Berbagai kerjasama bilateral disepakati ketika itu, namun ketika Soeharto mengintegrasikan Timor Timur ke wilayah NKRI, kembali menegang hubungan Indonesia-Australia.
Awalnya Australia mendukung langkah Indonesia mengintegrasikan Timor Timur, sebab Australia khawatir ideologi komunisme yang dianut Fretilin makin berkembang jika Indonesia tidak menduduki Timor Timur.
Namun ketegangan terjadi ketika lima jurnalis asal Australia tewas pada 16 Oktober 1975 di Kota Balibo saat meliput Operasi Seroja. Ketika Timor Timur berhasil diintegrasikan ke dalam NKRI pada 1978, Australia sebagai tetangga terdekat dengan Indonesia memandang sebagai ancaman nyata.
Australia menuduh Indonesia melakukan pelanggaran HAM berat selama Operasi Seroja. Bahkan Australia juga menuduh Indonesia melakukan pelanggaran yang sama di Papua.
Akibatnya Kopassus, pasukan khusus TNI AD mendapatkan embargo oleh Amerika Serikat. Kopassus diberi cap sebagai pasukan pembunuh tak berperikemanusiaan.
Memasuki Era Reformasi, hubungan Indonesia dan Australia menegang ketika referendum kemerdekaan Timor Timur dari Indonesia pada 1999.
Presiden BJ Habibie mengaku mendapat tekanan dari Perdana Menteri Australia John Howard untuk secepatnya melepaskan Timor Timur melalui referendum. Pada 1998, Howard menulis surat kepada Habibie yang mendukung kemerdekaan Timor Leste.
Pada saat referendum dilakukan yang berujung pada kemerdekaan, Australia menerjunkan pasukan perdamaian untuk mengamankan pelaksanaan referendum. Pengiriman pasukan ini dianggap sebagai penghinaan terhadap kemampuan keamanan Indonesia.
Hubungan Indonesia dan Australia kembali harmonis ketika Bom Bali meledak pada 2001. Karena kebanyakan korbannya adalah warga Australia, kemudian Indonesia bekerjasama dengan Australia melakukan operasi pemberantasan teroris hingga saat ini.
Dari catatan sejarah tersebut, dapat dilihat Australia hanya baik terhadap Indonesia ketika memiliki kepentingan dalam negerinya. Seolah bukan sahabat dalam suka dan duka, Australia hanya teman ketika tertawa. [mah]